PILKADA LANGSUNG ATAU LEWAT DPRD MENURUT PANDANGAN PROF. YUSRIL IHZA MAHENDRA
Pilkada menurut Undang-Undang Dasar 1945 tidak termasuk rezim pemilihan umum.
Kalau otonomi itu diberikan kepada Propinsi, maka pemilihan bupati dan walikota memang bisa diserahkan kepada DPRD. Kalau kita merujuk pasal 18 UUD 45, dikatakan, Gubernur-Wakil gubernur, Bupati-Wakil Bupati, Walikota itu dipilih dengan cara demokratis. Demokratis itu bisa langsung bisa tidak langsung. jadi itu hanya soal pilihan.

Kalau saya lihat manfaat - Mudaratnya sekarang, bagi saya lebih banyak manfaatnya kalau di pilih oleh DPRD kembali. sebab sistem yang kita bangun, pilihan langsung seperti sekarang itu membuka peluang untuk terjadinya korupsi besar-besaran. Karena biaya kandidat untuk kampanye itu besar sekali! dan itu sebagian besar digunakan untuk memberi uang kepada para pemilih. darimana mereka uang-uangnya? yah memberi lisensi Izin tambang, izin kebun dan segala macam. Akhirnya korupsi terjadi dimana-mana. Jadi Korupsi menurut saya hal sistem. Korupsi itu masalah sistem juga. jadi sifat yang kontradiksi.

Begini, Kita semua mengatakan kita ini anti korupsi mau berantas Korupsi, salah satu contoh kita laksanakan Pilkada-pilkada langsung seperti sekarang ini. Bukankah Pilkada-Pilkada itu membuka peluang lebar-lebar untuk terjadinya Korupsi? jadikan kita kontradiksi! itu contohnya

Terkait dengan pemilihan kepala daerah, pemilihan kepala daerah ini amandemen pasal 18. Pasal 18 itu hanya mengatakan Gubernur, Bupati dan walikota dipilih melalui cara-cara yang DEMOKRATIS. Cara-cara yang demokratis bisa multitafsir, tergantung bagaimana UU menterjemahkannya. mula mula pemilihan oleh DPRD, belakangan Pemilihan langsung.
“ Saya dari awal sudah tidak setuju dengan pemilihan langsung, tapi sudahlah jalan terus aja. akhirnya diadakan Pemilihan langsung Gubernur, Bupati dan walikota. itu yang terjadi sekarang. Dan ketika diadakan Pemilihan langsung, maka SENGKETA terjadi dimana-mana “.

Apakah tidak bisa UU pemilihan Kepala daerah itu mengubah pemilihan cukup oleh DPRD? tidak melanggar UUD, karena UUD mengatakan dipilih secara DEMOKRATIS. Demokratis bisa LANGSUNG bisa TIDAK LANGSUNG !

Jadi kita mengamati apa yang terjadi sejak Pemilukada (Pemilu Kepala daerah) langsung ini, rakyat kelihatannya belum begitu siap menghadapi ini, karena kabupaten dan kota itu kecil wilayahnya. Orang saling kenal satu sama lain, kalau ini dukung si A, dukung si B dukung si C. orang itu tiap hari ketemu juaan dipasar, ketemu diwarung kopi- minum kopi dan itu menimbulkan satu ketegangan antara rakyat sesama rakyat pada level bawah.
Lalu kemudian merebak apa yang disebut dengan Money Politik. Karena untuk membiayai pemilu, Pemilukada itu sangat besar! kadang-kadang untuk pemilihan bupati orang harus menyediakan 30-35 milyar. Untuk biaya kampanye, biaya saksi, biaya segala macam termasuk kadang-kadang team sukses, saksi di TPS, korlap, segala macam sampai memberi uang kepada rakyat beli sembako beli segala macam. Sebegitu besar biaya habis untuk pelaksanaan pilkada. Gaji bupati berapa? 6 Juta sebulan! kapan bupati itu akan mengembalikan modal untuk menjadi bupati itu? segala macam cara. Akhirnya bupati yang kaya sumber daya alam dia akan beri izin-izin tambang, yang punya luas tanah dia akan beri izin-izin kebun kelapa sawit, kebun karet dan segala macam dikasihkan untuk biaya Pilkada kalau dia sebagai incumbent.  2 tahun menjelang Pemilukada gubernur Incumbent memberikan izin kepada penambangan timah dilaut, kasih izin nikel, kasih izin ini itu. Kadang-kadang 1 lahan ada 10 macam izin dikeluarkan oleh bupati, walikota Incumbent. Negara rusak gara-gara Pilkada-pilkada ini.

lalu Pilkada itu kalau sengketa diserahkan kepada pengadilan tinggi, entah bagaimana setelah amandemen UU 32 2004 dengan UU 8 2008 kalau ngak salah, maka itu diserahkan ke Mahkamah Konstitusi. Saya sendiri yang mendraft UU MK itu tidak bisa mikir bahwa MK itu akan diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa Pemilu kada. Hakim MK itu cuma 9 orang. Memang MK dinyatakan salah satu tugasnya adalah mengadili persengketaan Pemilihan Umum, sengketa Pemilu. Pemilu yang dimaksud disitu, Pemilu 5 tahun sekali. Tetapi ketika Pilkada diubah menjadi Pemilukada, itu dianggap sebagai area dari Konstitusi maka dikasih ke MK.

Di MK itu hanya 9 Hakim harus memeriksa begitu banyak perkara Pilkada. tahun 2013 terdapat 178 Pemilukada diseluruh tanah air. 90% dibawa ke MK, berarti ada sekitar 160 perkara Pilkada yang dibawa ke MK, diputus oleh MK, kalau setahun ada 360 hari dipotong-potong hari kerja hari libur dan lain-lain kira-kira ada 300 hari, maka 2 hari sekali MK harus memutuskan 1 Perkara Pilkada. Bagaimana bisa diharapkan pemeriksaan itu berjalan secara objektif, jujur, adil, tenang pertimbanganpun tidak mendalam. sidang 3 kali langsung diputus. Dan akhirnya banyak sekali godaan-godaan, biaya sangat tinggi.

Bolehkan kita kembalikan lagi pemilihan itu kepada DPRD? sah dari segi konstitusi tidak salah asal UU 32 2004 dan UU 8 tahun 2008 itu diamandemen. Kalau terjadi sengketa siapa yang selesaikan saya sudah berikan masukan bahwa baiknya itu dikembalikan kepada Pengadilan tinggi tata usaha negara bukan pengadilan negeri. Pengadilan tinggi biasa-Pengadilan TUN, lebih relevan pengadilan TUN. karena itu keputusan pejabat tata usaha negara. Tapi pengadilan tinggi TUN harus mengadili dalam sidang terbuka, bukan baca berkas kayak perkara banding tau-tau sudah ada putusan.

Jadi kita kembalikan Pilkada itu pada DPRD lebih mudah kita mengawasi. Misalnya kabupaten Konawe, Anggota DPR nya 30 orang, Kabupaten Kendari cuma 35 orang. Lebih mudah kita awasi yang 35 orang itu daripada mengawasi rakyat sekabupaten. Kalau mereka disuap tinggal di tangkap saja, daripada mengawasi orang ribuan. Dan mungkin dengan cara itu juga maka akan ditemukan juga calon bupati dan walikota yang lebih berkualitas.

Sekarang ini siapa saja asal punya uang. Banyak Preman jadi bupati. Karena memang Pemilu itu memakan biaya besar dan rakyat baru mau datang Nyoblos itu umumnya kalau dikasih uang. Kadang kadang mereka betul juga, saya bicara sama Nelayan, Pak minggu depan ada Pilkada, bapak bagaimana? Pak yusril dia bilang, saya kalau tidak melaut satu hari saya tidak makan. jadi saya tidak pergi melaut 1 hari siapa yang bisa ganti saya pergi melaut? itu barang 100 ribu 200 ribu baru saya tidak melaut, kalau tidak saya pergi melaut saya jadi golput.

Akhirnya Pilkada seperti itu, siapa banyak uang walau tidak semua, umumnya akan menang.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan masukan email anda dibawah ini dan tentu saja gratis, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di INFO dan BERITA

Silahkan tinggalkan komentar